Jurnal Skejomega, - Terkisahkan siklus sejarah menunjukkan pengulangan. Dulu Nararya Sanggramawijaya atau Raden Wijaya melalui dukungan Arya Wiraraja seorang Bupati di Songenep (Sumenep, Madura sekarang) mengajukan pembukaan kawasan rawa tak berpenghuni di delta sungai Brantas kepada penguasa Gelang-gelang bernama Jayakatyeng atau Jayakatong alias Jayakatwang. Ketika izin dikeluarkan dengan harapan bahwa Raden Wijaya akan membangun sisi terdepan wilayah Gelang-gelang untuk menghadapi ancaman serbuan asing. Disitulah strategi mulai dimainkan, karena desa Majapahit terus-menerus menyiagakan diri jika suatu saat dapat menuntut balas atas Gelang-gelang yang telah menumpas Singhasari. Sebagai pengingat akibat dari serangan Gelang-gelang Raja Sri Kertanegara yang juga mertua Raden Wijaya gugur.
Cakra Manggilingan (dunia berputar). Kedatangan Ki Ageng Banasura ke kotaraja Majapahit pun berlatar tergesernya pengaruh Banten Girang pasca serangan pasukan Syarif Hidayatullah dengan bantuan Demak. Dipilihnya Majapahit sebagai tujuan berpindah, karena Ki Ageng Banasura ingin menapak jejak Sang Bujangga Manik seorang Kesatria Sunda yang memilih menjadi Resi dan melakukan lawatan ke Brang Wetan. Juga menyusul kakaknya yang lebih dulu hijrah bernama Ki Ageng Medelek.
Kepergian Ki Ageng Banasura alias Mbah Bana ke Brang Wetan diikuti putri semata wayang bernama Wandan Manguri dan sang adik bernama Ki Ageng Suruh. Tiga bersaudara Ki Ageng Medelek, Ki Ageng Banasura, dan Ki Ageng Suruh akhirnya dipertemukan kembali di Bhumi Wilwatikta Majapahit. Tetapi dari tiga bersaudara tersebut, Ki Ageng Banasura mendapatkan amanat langsung dari Baginda Bre Kertabhumi (Brawijaya V) untuk melacak keberadaan tiga pusaka Sang Prabhu, yaitu berupa mustika Wijayakusuma, topeng waja, dan kutut blawong (perkutut putih) yang murca atau hilang dari tempatnya.
Usai mendapatkan tugas, Ki Ageng Medelek menyarankan kepada Ki Ageng Banasura agar Wandan Manguri dititipkan kepada sang adik Ki Ageng Banasura bernama Ki Ageng Suruh. Sedangkan Ki Ageng Banasura harus berguru kembali kepada Resi Pandhita Majapahit. Muncullah nama Ki Ageng Sumayana alias Ki Ageng Sapayana di Dempok (Padepokan) Pancuran Cukir sebagai seorang brahmana resi Majapahit yang sangat terkenal pada masanya. Hal itu dimaksudkan agar keilmuan Ki Ageng Banasura setara dengan beban tugas yang diemban dari Gusti Prabu Brawijaya V. Ki Ageng Medelek sendiri pulang ke rumahnya dan lebih memilih mengembangkan ilmu kasepuhan.
Selama menuntut ilmu di Dempok (padepokan) Pancuran Cukir, Ki Ageng Banasura yang kemudian lebih dikenal sebagai Ki Ageng Buwana memiliki saudara seperguruan bernama Ki Ageng Pranggang. Kedekatan antara Ki Ageng Banasura alias Ki Ageng Buwana dengan Ki Ageng Pranggang ini layaknya saudara kandung. Karena Ki Ageng Buwana lebih tua secara usia, maka Ki Ageng Pranggang menyebut beliau sebagai Kakang Buwana, sebaliknya Ki Ageng Buwana memanggil adik seperguruannya dengan sebutan Adi Pranggang.
Masa menuntut ilmu pun berakhir, Ki Ageng Sumayana alias Ki Ageng Sapayana pun memerintahkan kedua murid beliau; Ki Ageng Banasura alias Ki Ageng Buwana dan Ki Ageng Pranggang untuk mendirikan padepokan baru. Akhirnya dengan berbagai pertimbangan atas amanat dari Gusti Prabu Brawijaya V untuk mencari pusaka andalan berupa mustika Wijaya kusuma, topeng waja, dan kutut blawong, mantablah hati Ki Ageng Banasura untuk mendirikan Padepokan Kedungbungkil. Yang diambil dari tempat dimana padepokan didirikan berupa daerah Kedung (bagian terdalam sungai yang mengalir tenang). Sedangkan nama Bungkil merupakan kata sandi ketiga pusaka Majapahit. Bung diambil dari bahasa Melayu Kuna yaitu Rabung (dalam bahasa Jawa disebut rebung atau bung), kata “Kil” bermakna kilalaan (warga asing). Karena Ki Ageng Banasura masih asing terkait daerah baru tersebut. Daerah Kedungbungkil masa silam merupakan piggiran sungai Brantas yang banyak ditumbuhi rumpun bambu. Sedangkan Ki Ageng Pranggang memantabkan hati membangun Padepokan Karang Kejambon. (DNG)
*) Diadaptasi dari karya Dian Sukarno, salah satu pegiat budaya dan penelusur sejarah Jombang.
1 Komentar
Ini kalau tidak salah, makamnya ada di pemakaman umum desa kedungrejo, yang model nisan dan arah makamnya beda dari yg lain
BalasHapus